Sedulurku tercinta,banyak orang menyebut secara spontan,apabila memandang sesuatu yang menakjubkan dalam tatapan hatinya,dan diantara banyak ungkapan itu--yang keren sementara ini,adalah ungkapan:Waw! Ternyata ungkapan "waw" ini bisa menjadi panjang lebar abstraksinya,hal ini terjadi karena sebuah keberadaan ternyata mengandung banyak makna,tak terhingga.Dan semua itu tergantung sejauh mana luas dan dalamnya "pengetahuan" seseorang,sebagaimana semua ranah ciptaan ini--walau sekecil partikel,bisa membawa atau "menyeret" hati seseorang ingat akan Allah,Yang Dicintai dan Yang Dirindukan.Sikap ini akan membawa diri seseorang untuk "semangat" mencari kebenaran dengan "lapang",tidak sempit,toleran,tanpa kefanatikan,dan tidak membelenggu jiwa.
Karena itu Islam musti dipahami sebagai "ajaran" dan "cita-cita",yang intinya ialah sikap hidup yang berserah diri kepada Tuhan,Islam adalah sebuah ide,sebuah "cita-cita kemanuisaan" universal.Tuhan sendiri menyatakan dalam firmanNya:"Janganlah kamu masuk dari satu pintu,melainkan masuklah kamu dari berbagai pintu yang berbeda".
Ungkapan "waw" ini bagi saya--di samping pandangan psikologis di atas,ada pandangan etomologis atau secara "kebahasaan"--atau ilmu nahwu,dimana "waw" itu bunyi dari huruf Arab:"wawu".Bila huruf yang bentuknya persis seperti harakat "dhummah" ini disambung dengan nama Allah maka akan berbunyi "wallahi",sebagai wawu qosam atau sumpah:Demi Allah.Serta "wawu" menjadi alamat "rafa'"--alamat kemuliaan,ada pada ranah dua tempat:pertama pada "jama' mudzakar salim"--misalnya pada kalimat "muslimuuna" atau "ta'lamuuna",dan "asma' khamsah"--yakni "abuuka,akhuuka,hamuuka,fuuka,dzuumalin.Kemudian,ranah "mudzakar salim" itu menunjukkan bahwa manusia kalau ingin mulia,sukses dan selamat harus punya tindakan "rendah hati" sebagai mana bentuk huruf "wawu" itu,huruf yang bentuknya "merunduk".Kepada siapa berendah hati itu? Yakni kepada nama-nama sebagaimana dalam "asma' khamsah" itu:kepada bapakmu[abuuka],saudaramu[akhuuka],pamanmu[hamuuka],mulutmu[fuuka],dan harta yang dimiliki[dzuumalin].Maknanya,kita harus berendah hati kepada "orang tua",berendah hati kepada saudara,berendah hati kepada kerabat,berendah hati kepada "lisan" kita sendiri dengan cara berbicara yang baik,dan berendah hati terhadap "harta" dengan cara "mencari" dan "membelanjakan" secara "halalan thayyiban".
Pada sisi lain,huruf "wawu" itu sebagai simbol "keagungan" yang hanya tunduk kepada "dummah"--dimana harakat dhammah ini bentuknya sama dengan huruf wawu,sehingga ketika huruf "wawu" jatuh setelah "dhummah" maka huruf "wawu" akan tiada.Maknanya adalah "keberadaan" dirinya akan lenyap,makanya hal itu dialamatkan adanya harakat "sukun"--harakat mati.Hal ini sama dengan tindakan kita,manakala berpapasan dengan "keagungan" Tuhan,keberadaan kita akan "lenyap",dan itulah rahasia Gusti Kanjeng Nabi Muhammad saw bersabda:"Matilah kamu sebelum mati".Sebagaimana kala siang hari,cahaya rembulan,cahaya bintang,akan lenyap terserap oleh cahaya Matahari.Bulan dan bintang tetap ada,namun menjadi tiada kala berhadapan dengan Cahaya Matahari.Makanya,keberadaan "wawu" ini akan tegak berdiri kokoh,bahkan ketika huruf "wawu" ini jatuh setelah "fathah"--sebagai simbol ketinggian derajat,maka "wawu" akan berubah menjadi huruf "Alif".Huruf "alif" inilah huruf yang tidak menerima "harakat" apapun,dan bila menerima harkat maka huruf "alif" ini akan berubah dari "keasliannya".
Kawan-kawan,cermatilah apa saja di jantera alam semesta ini,maka kita akan menemukan makna-makna sebagaimana huruf "wawu" ini.Jangankan kita memakai "dalil-dalil" tektual dalam ayat demi ayat Suci,setiap hurufnya saja bisa mengantarkan sebuah "tata nilai" yang membawa kepada "adab sopan santun",apalagi ayat-ayatnya.Untuk itu,apabila orang menggunakan dalil ayat-ayat hanya mengantarkan kepada "kesombongan" atau "supremasi diri",hal ini jelas "kecampuran egosentrisitas" yang membawa diri pada:ketidaksopanan hidup antar sesama.Bila kemasukan egosentrisitas,maka "kebaikan akan pergi dari dirinya.Berendah-hatilah,saat berhadapan dengan keagungannya sehingga kita pun akan luruh hati dengan menjerit:waw.....Tabik!
Sumber : Kiai Budi
Karena itu Islam musti dipahami sebagai "ajaran" dan "cita-cita",yang intinya ialah sikap hidup yang berserah diri kepada Tuhan,Islam adalah sebuah ide,sebuah "cita-cita kemanuisaan" universal.Tuhan sendiri menyatakan dalam firmanNya:"Janganlah kamu masuk dari satu pintu,melainkan masuklah kamu dari berbagai pintu yang berbeda".
Ungkapan "waw" ini bagi saya--di samping pandangan psikologis di atas,ada pandangan etomologis atau secara "kebahasaan"--atau ilmu nahwu,dimana "waw" itu bunyi dari huruf Arab:"wawu".Bila huruf yang bentuknya persis seperti harakat "dhummah" ini disambung dengan nama Allah maka akan berbunyi "wallahi",sebagai wawu qosam atau sumpah:Demi Allah.Serta "wawu" menjadi alamat "rafa'"--alamat kemuliaan,ada pada ranah dua tempat:pertama pada "jama' mudzakar salim"--misalnya pada kalimat "muslimuuna" atau "ta'lamuuna",dan "asma' khamsah"--yakni "abuuka,akhuuka,hamuuka,fuuka,dzuumalin.Kemudian,ranah "mudzakar salim" itu menunjukkan bahwa manusia kalau ingin mulia,sukses dan selamat harus punya tindakan "rendah hati" sebagai mana bentuk huruf "wawu" itu,huruf yang bentuknya "merunduk".Kepada siapa berendah hati itu? Yakni kepada nama-nama sebagaimana dalam "asma' khamsah" itu:kepada bapakmu[abuuka],saudaramu[akhuuka],pamanmu[hamuuka],mulutmu[fuuka],dan harta yang dimiliki[dzuumalin].Maknanya,kita harus berendah hati kepada "orang tua",berendah hati kepada saudara,berendah hati kepada kerabat,berendah hati kepada "lisan" kita sendiri dengan cara berbicara yang baik,dan berendah hati terhadap "harta" dengan cara "mencari" dan "membelanjakan" secara "halalan thayyiban".
Pada sisi lain,huruf "wawu" itu sebagai simbol "keagungan" yang hanya tunduk kepada "dummah"--dimana harakat dhammah ini bentuknya sama dengan huruf wawu,sehingga ketika huruf "wawu" jatuh setelah "dhummah" maka huruf "wawu" akan tiada.Maknanya adalah "keberadaan" dirinya akan lenyap,makanya hal itu dialamatkan adanya harakat "sukun"--harakat mati.Hal ini sama dengan tindakan kita,manakala berpapasan dengan "keagungan" Tuhan,keberadaan kita akan "lenyap",dan itulah rahasia Gusti Kanjeng Nabi Muhammad saw bersabda:"Matilah kamu sebelum mati".Sebagaimana kala siang hari,cahaya rembulan,cahaya bintang,akan lenyap terserap oleh cahaya Matahari.Bulan dan bintang tetap ada,namun menjadi tiada kala berhadapan dengan Cahaya Matahari.Makanya,keberadaan "wawu" ini akan tegak berdiri kokoh,bahkan ketika huruf "wawu" ini jatuh setelah "fathah"--sebagai simbol ketinggian derajat,maka "wawu" akan berubah menjadi huruf "Alif".Huruf "alif" inilah huruf yang tidak menerima "harakat" apapun,dan bila menerima harkat maka huruf "alif" ini akan berubah dari "keasliannya".
Kawan-kawan,cermatilah apa saja di jantera alam semesta ini,maka kita akan menemukan makna-makna sebagaimana huruf "wawu" ini.Jangankan kita memakai "dalil-dalil" tektual dalam ayat demi ayat Suci,setiap hurufnya saja bisa mengantarkan sebuah "tata nilai" yang membawa kepada "adab sopan santun",apalagi ayat-ayatnya.Untuk itu,apabila orang menggunakan dalil ayat-ayat hanya mengantarkan kepada "kesombongan" atau "supremasi diri",hal ini jelas "kecampuran egosentrisitas" yang membawa diri pada:ketidaksopanan hidup antar sesama.Bila kemasukan egosentrisitas,maka "kebaikan akan pergi dari dirinya.Berendah-hatilah,saat berhadapan dengan keagungannya sehingga kita pun akan luruh hati dengan menjerit:waw.....Tabik!
Sumber : Kiai Budi